Mungkin Anda ingat bagaimana zaman sekolah dulu. Apakah Anda seorang culun yang tidak mengerti tren busana, gaya, bahkan asmara. Lalu, apakah kini Anda merasa lebih sukses daripada teman yang lebih gaul saat itu?
Ia membedakan popularitas dalam dua kategori, yaitu ‘dianggap populer’ ketika orang berada di atas hirarki sosial, dan ‘popularitas sebenarnya’ ketika orang benar-benar disukai banyak orang.
Robbins fokus pada masalah di balik popularitas pada masa sekolah yang seketika menguap setelah menginjakkan kaki di luar sekolah. Dan, mengapa orang tidak populer seperti kutu buku memiliki lebih banyak peluang sukses dibandingkan orang-orang populer.
Mereka yang tidak populer umumnya memiliki masalah beradaptasi dengan teman-temannya. Namun, beberapa perusahaan termasuk Yahoo lebih memprioritaskan untuk mempekerjakan orang-orang seperti itu untuk menghindari pemikiran populer.
Robbins mengatakan, mereka yang tidak populer cenderung lebih bisa ‘menginjak tanah’. Mereka lebih sadar diri, jauh lebih jujur, dan lebih berani ketimbang mereka yang populer. Ini karena, mereka yang tidak populer dapat bertahan dalam kondisi dan situasi yang tidak mendukung mereka.
Coba tengok salah satu sekolah di Arkansas, banyak remaja putri yang mewajibkan anggota gengnya menggunakan high heels, barang-barang bermerek, dan melapor berat badan mereka setiap hari. Mereka tak sadar, sifat-sifat seperti ini yang akan menjadi racun di kemudian hari.
Namun, bagi orang-orang tidak populer hal itu bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan. “Anda akan cenderung membiarkan orang lain menekan untuk melakukan suatu perintah, dan hal inilah yang berguna di masa depan,” ujarnya.
Namun sayangnya, Robbins tidak menawarkan data-data dari asumsinya yang menghubungkan standarisasi dan definisi jelas mengenai popularitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar