JAGAT BESEMAH:
SATU PERIODE DALAM SEJARAH BESEMAH
3.1 Asal Nama dan Berbagai Pengertian “Besemah”
Nama “Besemah” berasal dari nama ikan, yakni ikan semah, ikan dari jenis cyprimus, termasuk famili ikan semah ini juga tambra dan ikan-mas (Faille, 1971:16). Salahsatu cerita tentang asal nama “Besemah” ini tersurat dalam naskah “Kitab Puyang Menjadikan Jagat Besemah”.
Cerita itu, dalam bahasa sekarang, bunyinya sebagai berikut.
“Maka Puteri Kenantan Buwih (isteri Radin Atung Bungsu) turun (ke sungai) membasuh beras. Maka bakul berasnya dimasuki oleh anak ikan semah. Tatkala Puteri Kenantan Buwih pulang dari membasuh beras dan ada membawa anak ikan semah, maka tanah (daerah sekitar) itu dinamai oleh Atung Bungsu Tanah Besemah”.
Secara morfologis, Besemah berasal dari kata dasar semah, ditambah awalan be- (ber-) yang berarti ‘ada’, ‘memiliki‘, atau ‘mengandung’ apa yang disebut kata dasar. Besemah berarti “ada semah”-nya. Sungai tempat ditemukan ikan tersebut disebut Ayik Besemah. Ayik Besemah (Air Besemah), berarti air (sungai) yang ada ikan semah-nya; tanah atau daerah tempat sungai itu berada disebut Tanah Besemah yang berarti” tanah” atau “daerah” yang di sungai-sungainya ada atau banyak hidup ikan semah.
Istilah “Besemah” acapkali ditulis bahkan diucapkan dengan “Pasemah”. Penyebutan istilah “Pasemah” yang tidak tepat ini pada dasarnya berpedoman kepada literatur asing, terutama penulis Belanda, yang menuliskan nama Besemah dengan kata Pasemah, Pasmah, bahkan Passumah. Hal ini disebabkan kemungkinan orang asing tersebut, termasuk orang Arab, sulit atau tidak dapat melafalkan bunyi “be”, sehingga kata-kata yang berawalan “be” mereka ucapkan “ba”, “fa”, dan “pa”. Demikianlah asal mulanya istilah Besemah dituliskan menjadi Pasemah. Contoh lain, nama Pelimbang dari pelimbangan menjadi Palembang dan kadang-kadang diucapkan Falimban.
Sudah saatnya, kita orang Besemah mengembalikan istilah atau sebutan kepada aslinya, yaitu Besemah. Untuk membuktikan nama yang benar menurut asal kejadian kata seperti diuraikan di atas adalah Besemah dan bukan Pasemah, berikut ini beberapa kata yang dapat dianalogikan pada kata itu, seperti,
- becengkak, artinya ada cengkak-nya, bukan *pacengkak yang tidak mempunyai makna.
- bemejahir, artinya ada mejahir-nya, bukan *pamejahir yang tidak mempunyai makna.
- beikan-mas, artiny ada ikan-mas-nya, bukan *paikan-mas yang tidak mempunyai makna.
- be-ayam, artinya ada ayamnya, bukan *pa-ayam yang tidak mempunyai makna.
Jadi cukup jelas, istilah Besemah tersebut mempunyai maksud dan arti, yaitu “ada semah-nya”, bukan *pasemah yang tidak mempunyai makna dan arti dalam konteks bahasa Besemah.
Nama “Besemah” diberikan oleh Atung Bungsu untuk menyebut sungai yang bermuara di sungai Lematang dan berasal dari utara Bukit Patah, melintas dusun Serendale. Sungai, tempat Puteri Kenantan Buwih membasuh beras dan mendapat anak ikan semah itu, sampai saat ini masih disebut dengan nama Ayik Besemah (Air Besemah atau sungai Besemah) yang dulu disebut juga “Batanghari Besemah”. Selain untuk menyebut nama sungai (Ayik Besemah), nama “Besemah” juga menjadi nama daerah di sekitar sungai tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, daerah di sekitar Ayik Besemah itu dikenal dengan nama Rurah Besemah Tengah (Daerah Besemah Tengah Padang).
Sekarang ini, Ayik Besemah dilintasi oleh jalan raya dari Palembang, melewati kawasan wisata “Liku Lematang Indah” yang menuju pusat Kota Pagaralam, Kota Perjuangan dan Kota Wisata di Sumatera Selatan. Jembatan Ayik Besemah menjadi batas dusun Karang-anyar dengan dusun Tebat-gunung Baru.
3.2 Pengertian Jagat Besemah
Konsep “jagat” dalam sejarah Besemah tidak mengacu pada pengertian dunia semesta, alam raya, atau seluruh dunia tidak pula mesti bermakna wilayah atau tanah atau negeri yang sangat luas, melainkan lebih menekankan pada pengertian adanya suatu episode kekuasaan atau tatanan pemerintahan dalam Sejarah Besemah. Demikian juga dengan konsep Jagat Acih, Jagat Jawe, dan Jagat Besemah semua bermakna dan pengertian masa (periode) kekuasaan atau tatanan pemerintahan suatu daerah atau “Masa Kerajaan Aceh”, “Masa Kerajaan Jawa”, dan “Masa Kerajaan Besemah”.
Pada masa “Jagat Acih” yang berkuasa adalah kerajaan Lamuri (Aceh Tiga Segi), yang pada mulanya di bawah pemerintahan kerajaan Pedir (Aceh Pidie). Tetapi sejak Raja Ibrahim (1514-1528) menyatakan lepas dari kerajaan Pedir (1524) ia menjadi Kesultanan Aceh Darussalam dan Raja Ibrahim menjadi sultan pertama dengan gelar Ali Mughayat Syah. Sementara itu, pada masa “Jagat Jawe” yang berkuasa adalah Kadipaten Demak Bintoro (Bentare Demak), kemudian menjadi Kesultanan Demak pada tahun 1500-an; beralih menjadi kerajaan Pajang sejak tahun 1568 dengan Joko Tingkir (Sultan Adiwijaya) sebagai penguasa tertinggi; beralih lagi ke Mataram (Mentaram) sejak 1586 dengan Panembahan Senopati ing Ngalogo alias Sutawijaya (1586-1601) sebagai rajanya.
Masa kekuasaan “Jagat Besemah” merupakan sistem keratuan yang didirikan oleh Atung Bungsu di Tanah Besemah yang meliputi suatu kurun waktu atau suatu periode tersendiri dalam sejarah Besemah yang sudah berumur ribuan tahun. Jagat Besemah disebut keratuan karena pemimpin Besemah dalam periode ini disebut ratu[i].
Pengertian dan maknanya ratu pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara berbeda dengan konsep ratu pada sat ini. Ratu pada masa kerajaan di Nusantara adalah sebutan untuk semua raja atau kepala kerajaan yang hampir semuanya adalah laki-laki, seperti Prabu Hayam Wuruk, Prabu Brawijaya disebut Ratu Majapahit, penguasa Palembang sampai dengan Sultan Abdurrahman disebut Ratu Jamaluddin Mangkurat, dan lain-lain. Sedangkan konsep ratu saat ini mengacu pada gender perempuan, termasuk raja perempuan, seperti Ratu Beatrix (raja perempuan di Belanda), Ratu Elizabeth (raja perempuan di Inggris), ratu dangdut, dan lain-lain.
Atung Bungsu adalah tokoh yang diyakini dan diakui oleh masyarakat Besemah sebagai pendiri atau yang menjadikan Jagat Besemah. Sebagai pendiri dan penguasa pertama Jagat Besemah, Atung Bungsu disebut Ratu Atung Bungsu atau Ratu Jagat Besemah. Keturunan Atung Bungsu yang menjadi penguasa selanjutnya disebut juga ratu. Dalam berebagai sumber, baik tertulis (manuskrip) maupun lisan, semua ratu dalam Jagat Besemah adalah laki-laki, tidak dikenal adanya perempuan yang menjadi ratu dalam periode ini.
Dalam buku Atlas Sejarah oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin (1956:15-20), dapat dilihat keberadaan Besemah pada kurun waktu sekitar tahun 1450 sampai 1868. Pada masa Pemerintahan Pangeran Sida ing Kenayan yang bergelar Ratu Jamaluddin Mangkurat IV menjadi penguasa Palembang yang memerintah sekitar 1622 hingga 1650 (Mahmud, 2004:97; Hanafiah, 1995:134,138). Pada masa itu, di Besemah berkuasa Ratu Singe Bekurung (ratu ke-10 Jagat Besemah). Ketika itulah kedua pusat kekuasaan sudah berhubungan dan berintegrasi, terbukti dengan kerjasama bilateralnya, yaitu saling mengakui dan penetapan tapak batas wilayah kekuasaan antara Besemah dengan Palembang.
Bermula dari sekitar Ayik Besemah yang telah dijelaskan di atas, Atung Bungsu menjadikan “jagat” (kekuasaan, dinasti, wangsa, rajakula, keratuan). Jadi, sebutan Jagat Besemah, selain mengacu pada pengertian suatu kekuasaan, juga mengacu pada pengertian sebagai kesatuan masyarakat etnik, seketurunan (sejuray), sukubangsa (dulu bangse) dari anak-cucu Atung Bungsu. Kesatuan etnik di sini tidak memiliki batas-batas wilayah yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar