Rabu, 01 Agustus 2012

Tempe sebagai makanan mewah

Tiga hari ini perajin tahu dan tempe mogok berproduksi. Penyebabnya karena harga bahan baku (kacang kedelai) naik tiga kali lipat. Kalau mau diproduksi juga tidak akan balik modal karena konsumen menjauh disebabkan harganya pasti naik. Kalau harga dipertahankan ya jelas rugi. Karena itu, sebagai bentuk protes kepada Pemerintah, para perajin tahu dan tempe itu memilih menghentikan produksinya (baca berita ini). Saya tidak paham kenapa harga kedelai itu naik luar biasa. Ulah kartelkah? Monopolikah? Tapi yang jelas persoalan tempe ini sudah menjadi isu nasional.
Seperti anda, saya juga suka tahu dan tempe. Sebagian besar rakyat Indonesia (khususnya di Jawa) mengenal tahu dan tempe sebagai makanan tradisionil yang murah namun kaya protein nabati. Saya setiap minggu selalu membeli tahu dan tempe buat anak-anak di rumah. Anak saya suka sekali makan tempe. Harga tahu seukuran 5 x 5 x 3 cm hanya Rp500 per buah, sedangkan tempe berukuran 10 x 8 x 4 cm hanya Rp3000 per buah. Murah sekali, bukan? Di Bandung tahu yang terkenal itu adalah tahu Cibuntu, tahu Lembang, dan tahu Tauhid. Ketiganya adalah nama daerah sentra pembuatan tahu secara turun temurun. Ada tahu putih dan tahu kuning. Tahu kuning adalah tahu putih yang memakai kunyit.
Tahu Cibuntu, Bandung (Sumber foto: http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/foto-harga-kedelai-naik-perajin-tahu-tempe-mogok-produksi-25-27-juli-2012)
Tahu dan tempe bisa dimakan begitu saja (setelah digoreng tentu), dijadikan jajanan seperti gehu, tahu isi, tahu gejrot, atau dijadikan teman lauk waktu makan nasi. Begitu populernya tempe (dan tahu) bagi orang Indonesia, sampai-sampai Bung Karno dulu pernah mengatakan agar bangsa kita jangan menjadi bangsa yang bermental tempe. Tempe itu lunak, maka janganlah karakter bangsa kita ini lunak seperti tempe, begitu kira-kira kata Baung Karno.
Tahukah anda, meskipun tempe diidentikkan dengan makanan rakyat kebanyakan, sebenarnya tahu dan tempe itu adalah makanan mewah. Mengapa demikian? Tidak lain karena bahan bakunya sebagian besar diimpor dari Amerika, Cina, atau India. Para petani kita masih enggan menanam kacang kedele karena nilainya tidak ekonomis. Pemerintah juga tidak berhasrat meningkatkan produksi kedelai, akhirnya yang terjadi kita bergantung pada impor kedelei dari luar. Seperti sekarang, harga kedele luar biasa naik, maka para perjain tahu dan tempe menjerit.
Mahalnya kacang kedele menimbulkan efek domino di mana-mana, mulai dari hulu sampi hilir. Perajin tahu dan tempe berhenti berproduksi, para karyawannya terpaksa berhenti mendapatkan penghasilan. Tidak hanya itu, penjual tahu dan tempe tidak punya barang untuk dijual. Efeknya merembet kepada pedagang gorengan yang sangat bergantung pada dua komoditas itu, pedagang tahu Sumedang, dan lain-lain. Rakyat kecil yang tidak mampu membeli daging tidak bisa lagi membeli makanan murah yang kaya gizi itu. Jadi, yang terkena imbasnya adalah orang kecil juga. Pada kondisi seperti ini, di mana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar